Beranda | Artikel
Hadits Arbain Ke 12 - Cara Manajemen Waktu
Senin, 16 Maret 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Anas Burhanuddin

Hadits Arbain Ke 12 – Cara Manajemen Waktu merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية) atau kitab Hadits Arbain Nawawi Karya Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala. Kajian ini disampaikan pada 3 Jumadal Akhirah 1441 H / 28 Januari 2020 M.

Status Program Kajian Kitab Hadits Arbain Nawawi

Status program kajian Hadits Arbain Nawawi: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Selasa sore pekan ke-2 dan pekan ke-4, pukul 16:30 - 18:00 WIB.

Download juga kajian sebelumnya: Hadits Arbain Ke 11 – Tinggalkanlah Perkara Yang Membuatmu Ragu

Ceramah Agama Islam Tentang Hadits Arbain Ke 12 – Cara Manajemen Waktu

Hari ini kita lakukan dalam rangka menambah bekal akhirat kita dan mengisi hari-hari kita di dunia untuk persiapan kita diakhirat. Kita menyadari umur kita pendek, waktu kita terbatas dan kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan akhirat yang abadi, tidak ada putus dan habisnya. Dan nasib serta kebahagiaan kita di sana bergantung pada amal kita selama masih hidup di dunia ini.

Maka orang yang muwaffaq (diberikan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah orang yang peduli dengan akhiratnya, mengalahkan dunianya untuk akhiratnya, meninggalkan kenikmatannya di dunia untuk mengejar kebahagiaan di akhirat, itu adalah orang yang muwaffaq. Dia sadar bahwasannya kalau dia mau berlelah-lelah di dunia, mau beramal banyak di dunia, insyaAllah dia akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak.

Dan kita juga membutuhkan amalan-amalan yang bisa menghapuskan dosa-dosa kita. Kita sebagai manusia tidak lepas dari dosa dan kesalahan. Dan salah satu kiat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat kita menjalankan suatu keburukan atau maksiat adalah segera mengikuti keburukan itu dengan kebaikan dan amal shalih. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا

“Dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapus keburukan.”

Maka kita butuh amal shalih seperti ini. Kita butuh kajian-kajian, kita butuh shalat jama’ah, kita butuh birrul walidain, kita butuh membantu orang lain dan berbagai amal shalih yang disyariatkan dalam Islam untuk menghapuskan dosa-dosa kita. Kapan kita salah, kapan kita berdosa, hendaknya segera kita bangkit, segera kita ingat Allah, segera kita tutup keburukan tersebut dengan kebaikan dan amal shalih.

Pada pertemuan yang terakhir telah kita bahas bersama hadits nomor 11. Yaitu hadits Al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu. Bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

“Tinggalkanlah perkara yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak membuatmu ragu.” (HR. An-Nasa’i dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih)

Yang menuntut kita untuk meninggalkan perkara-perkara yang meragukan dan syubhat. Tentunya itu semua setelah kita memastikan diri meninggalkan perkara-perkara yang lebih besar, perkara-perkara yang jelas keharamannya, perkara-perkara yang makruh, perkara-perkara yang dilarang oleh agama, baru kemudian kita berpindah pada tingkat berikutnya, yaitu meninggalkan perkara-perkara yang syubhat dan meragukan. Jangan sampai kita menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang syubhat, tapi kita masih melakukan perkara-perkara yang jelas diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun hari ini kita akan berpindah ke hadits nomor 12. Sebuah hadits yang agung yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Diantara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak penting baginya.” (Hadits hasan riwayat Tirmidzi dan yang lain)

Sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala, hadits ini adalah riwayat At-Tirmidzi dan beliau menghukumi hadits ini hasan. Hasan termasuk kategori hadits yang bisa diterima dan dijadikan landasan dalam beramal. Dan hukum hasan ini juga para ulama hadits yang lain diantaranya adalah Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan yang lain. Maka hadits ini bisa kita pakai, bisa kita jadikan landasan dalam beragama dan beramal.

Dan hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari jalur beliau kemudian berakhir pada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu (sahabat yang memiliki cukup banyak hadits dalam Arbain Nawawiyah ini. Dan beberapa kali kita sudah membahas sirah beliau. Dan salah satu yang menonjol adalah bahwasanya Abu Hurairah adalah sahabat dengan riwayat hadtis paling banyak. Karenanya kita sering mendengar, “Abu Hurairah, Abu Hurairah..” karena beliau memang adalah sahabat dengan riwayat hadits paling banyak. Juga paling banyak di antara 7 sahabat yang memiliki riwayat hadits paling banyak dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di mana hadits-hadits beliau mencapai 5.374 hadits. Banyak sekali dan uniknya beliau mencapai prestasi ini dalam waktu yang cukup singkat. Karena beliau baru masuk Islam 4 tahun sebelum meninggalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan ini adalah sebuah pelajaran penting, sebuah inspirasi bagi kita semuanya, terutama mereka yang -barangkali- agak terlambat dalam belajar agama. Anda bisa menjadikan Abu Hurairah sebagai inspirasi Anda. Hanya dalam waktu 4 tahun beliau mengejar ketertinggalan beliau dan kemudian akhirnya bisa mengejar bahkan mengalahkan para sahabat yang lain dalam bab ini.

Maka peluang belum tertutup kalau kita serius, kalau kita sungguh-sungguh maka kita bisa mengejar ketertinggalan kita dan bisa mempelajari sebanyak mungkin ilmu agama dan menguasainya.

Dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu wafat pada tahun 59 Hijriah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dan meridhai beliau. Dalam hadits ini beliau menyampaikan bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Diantara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak penting baginya.”

Kata “يَعْنِيْهِ” berasal dari kata “inayah” yang artinya adalah perhatian besar. Dikatakan perkara ini penting bagi saya. Saya merasa penting dengan urusan ini. Perkara ini menjadi perhatian saya atau bahkan menjadi perhatian saya. Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan diantara tanda kebaikan dan kesempurnaan Islam seseorang adalah kalau dia bisa meninggalkan perkara-perkara yang tidak penting baginya.

Namun perlu diketahui bahwasanya penting tidaknya suatu perkara dalam kehidupan kita, ini tidak kita kembalikan kepada hawa nafsu kita. Tapi semuanya ditimbang dan diukur dengan timbangan syariat. Dan hal ini mencakup urusan dunia dan urusan akhirat. Kita meninggalkan apa yang tidak penting untuk kita, yang tidak bermanfaat untuk kita, baik dalam urusan akhirat maupun dalam urusan dunia. Dan timbangannya adalah timbangan syariat. Yang tidak penting adalah yang tidak penting menurut syariat, yang tidak bermanfaat adalah yang tidak bermanfaat menurut syariat. Maka itu kita tinggalkan kalau kita ingin Islam kita sempurna dan Islam kita baik.

Meninggalkan perkara yang diharamkan

Karenanya seorang Muslim akan meninggalkan semua perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia akan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu hal-hal yang Allah melarangnya dengan tegas baik berupa syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyekutukan Allah dengan hamba-hambaNya ataupun berupa bid’ah,  menambah-nambah dalam urusan agama, meyakini aqidah yang sesat, menjalankan ibadah kepada Allah dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beribadah kepada Allah dengan ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Atau ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tapi caranya tidak beliau contohkan. Maupun berupa maksiat-maksiat, baik berupa dosa-dosa besar, maupun dosa-dosa kecil. Ini semuanya diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka dia harus ditinggalkan oleh seorang muslim. Karena perkara tersebut tidak penting baginya. Bukan cuma tidak penting, tapi perkara
tersebut juga membahayakan akhiratnya yang merupakan urusan terpenting dalam kehidupannya.

Jadi yang pertama yang harus ditinggalkan adalah perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Meninggalkan perkara yang syubhat

Kemudian yang kedua adalah perkara-perkara yang syubhat. Harta yang bercampur antara haram dan halal, hukum-hukum yang masih diperselisihkan di antara para ulama dan kita belum memiliki hukum yang kuat dalam masalah yang sudah kita hadapi. Ini adalah syubhat sebagaimana yang sudah bahas dalam hadits An-Nu’man bin Basyir:

إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الَحرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ

“Sungguh yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang.”

Juga yang kita bahas dalam hadits Al-Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘Anhuma dalam pertemuan yang terakhir sebelum pertemuan kita pada hari ini, untuk meninggalkan perkara-perkara yang meragukan kepada perkara-perkara yang jelas dan tidak meragukan.

Meninggalkan perkara yang makruh

Kemudian juga yang ketiga adalah perkara-perkara yang makruh. Yaitu hal-hal yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitabNya atau oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sunnah beliau, namun tidak dengan tegas. Makruh, yaitu sesuatu yang kalau kita tinggalkan kita mendapatkan pahala, kalau kita kerjakan kita tidak berdoasa di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Dan di antara contohnya menurut para ulama adalah misalnya memegang kemaluan kita dengan tangan kanan tanpa ada kebutuhan/tanpa ada udzur. Kemudian juga beristinja dengan tangan kanan kita, padahal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencontohkan kita untuk beristinja dengan tangan kiri kita. Kemudian juga misalnya berjalan dengan satu sendal atau satu sepatu, ini juga dilarang oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

وَلْيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا, أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيعًا

“Hendaknya dia memakai kedua-duanya atau melepas kedua-duanya sama sekali.” (HR. Bukhari Muslim)

Beliau kadang-kadang memakai sendal, kadang-kadang sesekali “nyeker“. Itu adalah teladan beliau. Tapi memakai satu sendal itu dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian juga minum dari bejana/termos/teko secara langsung. Tapi kita minum dari gelas, kita tuangkan dulu dalam gelas kemudian baru kita minum.

Kemudian juga diantara contoh amalan yang makruh adalah meniup minuman. Ini dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi para ulama mengkategorikan larangan tersebut sebagai larangan yang makruh dan tidak sampai derajat haram.

Meninggalkan perbuatan yang mubah tapi kebanyakan

Kemudian yang keempat, diantara perkara yang sebaiknya ditinggalkan atau yang hendaknya ditinggalkan oleh setiap muslim adalah hal-hal yang sifatnya mubah tapi kebanyakan, berlebihan. Ini juga termasuk perkara yang perlu ditinggalkan oleh setiap muslim sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Dan contohnya adalah berlebihan dalam berbicara, ngobrol, cangkrukan, jagongan, yang berlebihan.

Kita mengetahui berbicara itu boleh. Tapi kadang-kadang kalau kita tidak sadari, kalau kita tidak kontrol, maka pembicaraan yang awalnya boleh itu membawa kita kepada hal-hal yang tidak boleh. Keasyikan membicarakan kejelekan orang lain. Dan juga misalnya adalah begadang dalam hal-hal yang tidak perlu. Pada dasarnya boleh, tapi kalau berlebihan/ kepanjangan menjadi tidak baik.

Demikian juga dengan makanan yang boleh, bahkan bisa menjadi ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagian ulama mengatakan, “Barangsiapa yang ingin dan suka amalannya menjadi baik, hendaknya dia memperbaiki niatnya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pahala kepada seorang hamba jika baik niatnya sampai pada sesuap nasi yang dia makan.” Ini berpahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi kalau berlebihan (makannya), makan itu halal, boleh, mubah, sesekali mungkin kita menikmati kuliner. Tapi yang masalah adalah kalau sudah berlebihan menjadi hal-hal yang mubah tapi berlebihan. Ini juga selayaknya ditinggalkan oleh seorang muslim. Demikian juga makanan minuman, ini semuanya termasuk dalam kata “kuliner”.

Kemudian juga berlebihan dalam berpakaian yang awalnya boleh. Pakaian itu boleh, pakaian itu adalah penutup aurat kita. Namun ketika dia menjadi berlebihan, kita terlalu memberikan perhatian pada hal tersebut, maka ini menjadi tidak baik. Mengikuti secara berlebihan perkembangan-perkembangan mode. Awalnya boleh tapi menjadi berlebihan dan melalaikan kita dari urusan akhirat.

Kemudian juga termasuk papan (tempat tinggal) kita. Tadi sudah dibahas tentang pangan (makanan), kemudian sandang (pakaian), papan kita juga seperti itu. Tempat tinggal kita, awalnya halal dan boleh. Tapi kalau berlebihan dalam memberikan perhatian padanya maka itu juga tidak baik.

Juga tidur, tidur adalah sesuatu yang mubah. Kalau kita pasang niat yang baik kita bisa mendapatkan pahala. Tapi kalau berlebihan juga menjadi tidak baik. Sebagian orang shalih mengatakan, “Sungguh aku mengharapkan pahala dari tidurku sebagaimana aku Mengharapkan pahala dari qiyamul lail-ku.”

Orang mengharapkan pahala dari qiyamul lail, wajar. Tapi bagaimana orang mengharapkan pahala dari tidurnya? Dengan niat. Ketika dia meletakkan badannya di atas tempat tidurnya, dia olah hati dia dengan niat. Dia katakan, “Ya Allah, aku tidur sekarang tidak terlalu malam mengikuti sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang melarang kami untuk begadang yang tidak perlu dengan niat agar aku nanti bisa bangun malam.” Orang yang memasang niat seperti itu di hatinya sebelum dia tidur maka dia mendapatkan pahala dari tidurnya.

Dan seperti yang sudah kita ketahui, tidur itu boleh/mubah. Tapi juga seorang muslim hendaknya tidak berlebihan dalam tidur. Ibnu Jama’ah Rahimahullahu Ta’ala pernah menyebutkan seorang penuntut ilmu hendaknya tidak tidur berlebihan dan jangan sampai tidurnya lebih dari 8 jam dalam satu hari. Kalau sudah lebih dari itu maka itu sudah berlebihan. Bagaimana kita akan beramal? Bagaimana kita akan banyak beribadah kalau tidurnya terlalu banyak? Dan masing-masing dari kita memiliki tingkat kecukupan yang berbeda untuk tidur. Ada sebagian orang yang di malam hari cukup tidur 3 jam atau bahkan 2 jam, ada sebagian yang standar tidurnya adalah 4 jam, ada yang baru bisa cukup istirahat kalau tidurnya 5 jam atau 6 jam. Maka silahkan kalau memang tubuh kita butuh 5 jam atau 6 jam, silahkan tidur 5 jam atau 6 jam. Kalau butuh istirahat 4 jam dalam satu malam, maka kasih hak tubuh kita 4 jam, tapi jangan berlebihan. Kalau cukup 4 jam, maka usahakan jangan lebih dari itu. Kalau cukup 5 jam maka jangan lebih dari itu. Kalau cukup 6 jam maka jangan lebih dari itu. Selebihnya kita pakai untuk urusan dunia atau urusan akhirat kita, menambah bekal akhirat kita lebih banyak.

Karenanya para ulama menjelaskan bahwasanya seorang muslim bisa sampai pada derajat zuhud. Zuhud adalah:

ترك ما لا ينفع في الآخرة

“Meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat untuk akhirat kita.”

Zuhud adalah sebuah derajat yang tinggi. Dia lebih tinggi daripada derajat wara’. Wara’ adalah meninggalkan perkara-perkara yang membahayakan akhirat kita. Tapi zuhud lebih tinggi. Zuhud adalah meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat untuk akhirat kita.

Maka kalau kita kembalikan empat perkara tadi yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali, meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan, meninggalkan perkara-perkara yang syubhat, meninggalkan perkara-perkara yang makruh. Maka ketiganya bisa kita kategorikan sebagai wara’. Meninggalkan perkara-perkara yang membahayakan urusan akhirat kita. Dan yang terakhir adalah meninggalkan hal-hal yang mubah tetapi berlebihan. Ini adalah tingkatan zuhud. Dia mubah, tapi kita tinggalkan dengan pertimbangan dia tidak bermanfaat untuk akhirat kita. Lebih baik kita menyibukkan diri dengan yang lebih dari itu. Menyibukkan diri dengan kewajiban-kewajiban, menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang sunnah. Waktu kita habis untuk yang wajib atau yang sunnah. Sayang kalau waktu kita habis dalam perkara-perkara yang mubah.

Jadi ini adalah dua derajat tinggi dalam agama kita. Yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Yang pertama adalah wara’ (meninggalkan perkara-perkara yang membahayakan urusan akhirat kita), dan yang kedua/yang lebih tinggi adalah zuhud (meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat untuk urusan akhirat kita). Ada perbedaan tipis di antara keduanya dan itu bisa kita pahami dengan contoh-contoh yang sudah kita sebutkan di atas.

Jadi hadits ini mengajarkan kita untuk meninggalkan perkara-perkara yang tidak penting untuk kita. Dan semua yang membahayakan urusan akhirat kita atau tidak bermanfaat untuk akhirat kita, maka itu tidak penting. Kenapa? Karena standar kita adalah standar syariat, standar agama, itu yang dijadikan patokan dan sandaran dalam menentukan mana yang penting dan mana yang tidak penting. Maka pesan tersirat dari hadits ini adalah hendaknya seorang muslim menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang wajib-wajib atau yang sunnah-sunnah.

Kalau kita membagi hukum Islam dalam lima hukum: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, maka tiga yang terakhir (haram, makruh dan mubah) sudah disebutkan dalam hal-hal yang semestinya ditinggalkan tadi, hal-hal yang kita anggap tidak penting bahkan membahayakan akhirat kita.

Maka tersisa dua lagi, perkara-perkara yang wajib dan perkara-perkara yang itu sunnah. Ini yang seharusnya menjadi perhatian besar umat Islam. Mereka lebih fokus pada dua hal ini. Memperbanyak perkara-perkara yang wajib dan menambahnya lagi/menghiasinya dengan perkara-perkara yang sunnah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi yang juga merupakan bagian dari rangkaian Arbain Nawawiyah:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

“Dan tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada perkara-perkara yang Aku wajibkan atas mereka.”

Jadi amalan terbaik yang menjanjikan pahala paling besar justru adalah amalan-amalan yang wajib. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hadits di atas, “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada perkara-perkara yang Aku wajibkan atas mereka”.

Maka hal-hal yang hukumnya wajib harus menjadi prioritas kita. Kita harus gugurkan dari diri kita dengan menjalankannya, dan itu akan memberikan pahala terbesar untuk kita semuanya.

Maka menjalankan shalat, apalagi secara berjamaah menurut sebagian ulama adalah wajib. Kemudian menjalankan puasa Ramadhan, zakat bagi yang sudah memiliki nishab, kemudian juga haji bagi yang sudah mampu. Ini adalah rukun-rukunnya, ini adalah pokok-pokoknya. Pokok dari ibadah-ibadah yang wajib. Birrul walidain juga wajib, menafkahi keluarga kita juga wajib. Maka kita jadikan ini sebagai prioritas utama. Betul memang yang namanya wajib pasti tidak lepas dari beban, tapi kita bisa meringankannya dengan mengharapkan pahala besar di balik itu. Kita harus menyadari bahwasanya di balik sesuatu yang wajib ada pahala yang besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka meskipun berat, meskipun ada beban, kita akan merasa ringan. Kenapa? Karena kita melihat ada pahala terbesar, pahala terbaik yang Allah siapkan untuk kita ketika menjalankan perkara-perkara yang wajib itu. Kemudian Allah berfirman dia akhir hadits:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Dan hambaKu masih terus mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-ibadah yang sunnah sampai Aku mencintai dia.”

Setelah perkara-perkara yang wajib, kita kemudian menambah dan menghiasi amalan kita dengan hal-hal yang sunnah. Shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, haji yang sunnah (yakni haji yang kedua, ketiga dan seterusnya), umrah yang sunnah (yakni umrah yang kedua, ketiga dan seterusnya), berbuat baik kepada orang lain, ini semuanya adalah contoh dari ibadah-ibadah sunnah yang seharusnya menjadi pokok perhatian seorang muslim.

Jadi kalau kita dituntut untuk meninggalkan apa-apa yang tidak penting untuk kita, baik berupa hal-hal yang diharamkan, hal-hal yang makruh, kemudian hal-hal yang masih syubhat, atau hal-hal mubah tapi berlebihan, maka apa yang kita lakukan? Yang kita lakukan adalah lawannya/yang tersisa, yaitu perkara-perkara yang wajib dan perkara-perkara yang sunnah.

Maka hadits ini sangat agung, dia mengumpulkan agama semuanya. Secara tersurat hadits ini memotivasi kita untuk meninggalkan perkara-perkara yang tidak penting. Yaitu apa? Tiga hukum yang pertama: haram, makruh, mubah. Kemudian secara tersirat dari hadits ini adalah kita diperintahkan untuk menyibukkan diri dengan sisanya, yaitu yang wajib atau yang sunnah. Maka itulah agama semuanya, tidak lepas dari 5 hukum itu. Maka semuanya sudah tercakup oleh hadits ini, sebagian dicakup secara tersurat. Sementara sebagian lagi dicakup secara tersirat.

Dan kalau kita sudah menyibukkan diri dengan hal-hal yang wajib, menghiasinya dengan hal-hal yang sunnah, meninggalkan yang haram, yang makruh dan mubah, maka berarti insya Allah kita sudah memiliki Islam yang baik. Dan itu adalah derajat Ihsan yang merupakan derajat tertinggi dalam beragama. Yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Jibril yang panjang, bahwasanya ihsan adalah:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Dia. Dan jika engkau tidak melihat Dia maka engkau menyadari bahwasanya Dia melihat anda.”

Lihat: Hadits Arbain Ke 2 – Pengertian Islam, Iman dan Ihsan

Ini adalah ihsan yang memiliki dua tingkatan. Tingkatan yang pertama kita beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihatNya. Allah berkehendak untuk tidak bisa dilihat di dunia, tapi seolah-olah kita melihatNya, saking tingginya ma’rifah kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, saking kita memahami asma, sifatNya, saking kita khusyu’ dalam beribadah kita bisa menghadirkan kondisi itu, seolah-olah kita melihat Allah saat kita beribadah. Dan ini konsekuensinya adalah kita malu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita malu untuk melakukan perkara-perkara yang tidak penting, perkara-perkara yang selayaknya ditinggalkan. Kenapa? Karena kita sedang berhadapan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita seolah-olah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala langsung.

Dan tingkatan yang kedua adalah:

فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Jika engkau tidak bisa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka engkau menyadari bahwasanya Allah melihat anda.”

Ketika menyadari Allah melihat kita, Allah mengawasi kita, Allah mendengar kita, maka kita akan malu. Dia adalah Allah, Dia adalah Dzat yang Maha Tinggi, Dzat Yang Maha Agung, pencipta kita. Bagaimana kita berani untuk melakukan perkara-perkara yang haram di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sementara Dia melihat kita dan mengawasi kita? Dan sebenarnya meninggalkan perkara-perkara yang haram atau yang makruh atau yang syubhat atau yang mubah tapi berlebihan/terlalu banyak, ini semuanya adalah buah dari ihsan, buah dari derajat yang paling tinggi dalam Islam. Yaitu ihsan, beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seolah-olah kita melihat Dia, dan kalau kita tidak seolah-olah melihat Dia, maka kita menyadari bahwasanya Allah melihat kita. Maka, ada hubungan yang erat antara hadits ini dengan hadits Jibril yang menjelaskan tentang ihsan.

Meninggalkan pembicaraan yang tidak penting

Kemudian para ulama menjelaskan bahwasanya diantara perkara yang menjadi stressing (titik perhatian) dalam pembahasan meninggalkan hal-hal yang tidak penting adalah meninggalkan pembicaraan yang tidak penting. Meninggalkan perkataan yang memiliki kriteria seperti diatas; perkataan yang haram, perkataan yang makruh, atau perkataan yang mubah tapi berlebihan. Ini semuanya termasuk bagian yang menjadi stressing para ulama ketika menjelaskan hadits ini.

Maknanya secara umum sudah kita jelaskan tadi, maksudnya adalah meninggalkan yang haram, yang makruh, yang syubhat, yang mubah tapi berlebihan. Itu semuanya perlu ditinggalkan oleh seorang muslim sebagai wujud kebaikan dan kesempurnaan Islam dia. Tapi diantara yang menjadi stressing para ulama dalam hal ini adalah pembahasan tentang amalan lisan yang harus kita perhatikan, yang harus kita kontrol, yang kita harus meninggalkan apa yang tidak penting darinya.

Menjaga lisan kita dari pembicaraan-pembicaraan yang tidak berarti, yang tidak berguna, yang tidak bermanfaat, apalagi yang membebani hisab kita di akhirat kelak. Makanya ada sebuah pesan dari Umar bin Abdul Aziz yang layak untuk kita jadikan nasehat yang bagus untuk kita semuanya, yaitu perkataan beliau:

مَنْ عَدَّ كَلاَمَهُ مِنْ عَمَلِهِ ، قَلَّ كَلاَمُهُ إِلاَّ فِيْمَا يَعْنِيْهِ

“Barangsiapa yang menghitung perkataannya sebagai bagian dari amalannya, maka perkataannya akan sedikit kecuali dalam perkara-perkara yang penting bagi dia.”

Dan inilah yang seharusnya. Karena amalan kita dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, perkataan kita dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia adalah amalan. Kalau baik kita mendapatkan pahala, kalau kita baik kita mendapatkan anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, ganjaran dari perkataan tersebut. Kalau haram, maka kita akan berhadapan dengan tanggung jawab dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Dan adakah sesuatu yang bisa membuat orang tersungkur di neraka, di atas wajahnya, kecuali buah dari lidah mereka?” Ini sabda dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada di rangkaian Arbain Nawawiyah. InsyaAllah nanti kita akan sampai pada hadits itu. Artinya banyak sekali orang yang jatuh di neraka, orang yang menjadi penghuni neraka dan sebabnya adalah karena buah lisan/lidah dia. Dia tidak bisa mengontrol lisannya, tidak bisa menjauhi perkara-perkara yang diharamkan dalam masalah pembicaraan. Maka akhirnya dia menjadi penghuni neraka.

Maka pembicaraan adalah termasuk bagian dari amal yang akan dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itu adalah sesuatu yang sudah jelas, tapi banyak orang lalai dari fakta ini. Banyak orang yang tidak sadar akan fakta ini maka dia tidak mengontrol pembicaraannya. Na’udzubillahi min dzalik..

Karenanya Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Barangsiapa yang menganggap perkataan/omongan/obrolan sebagai amalan dia, maka perkataan dia akan sedikit. Kecuali dalam perkara-perkara yang penting baginya.” Maka dia akan mengontrol lisannya. Yang haram pasti akan ditinggalkannya.

Kita menyadari ini sangat sulit. Betapa kita kadang-kadang memulai pembicaraan dalam perkara yang baik, mungkin dengan bungkus kajian, dengan bungkus tabligh akbar, dengan bungkus ceramah agama, tapi ketika tiba di tengah-tengah ceramah kita lupa. Kita menyebut kejelekan orang lain, kita mungkin mengadu domba, kita menyampaikan konten yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Ingat itu semuanya akan dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita akan bertanggung jawab akan perkataan yang sudah kita sampaikan itu. Jadi ini tidak mudah.

Maka, dia akan meninggalkan perkataan-perkataan yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia juga akan meninggalkan perkataan-perkataan yang makruh, yang syubhat, yang berlebihan meskipun awalnya mubah, seperti yang sudah kita jelaskan tadi.

Simak penjelasan selanjutnya pada menit ke-40:01

Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Hadits Arbain Ke 12 – Cara Manajemen Waktu

Lihat juga: Hadits Arbain Ke 1 – Innamal A’malu Binniyat

Mari raih pahala dan kebaikan dengan membagikan tautan ceramah agama ini ke Jejaring Sosial yang Anda miliki seperti Facebook, Twitter, Google+ dan yang lainnya. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan Anda.

Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com

Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :

Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv

 


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48238-hadits-arbain-ke-12-cara-manajemen-waktu/